Ad Code

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Anda Sudah Tau Apa Itu Kortikosteroid?

 OBAT GOLONGAN KORTIKOSTEROID

Kasus penyakit dalam berbagai kondisi banyak yang memerlukan obat-obat golongan kortikosteroid. Tidak hanya menyembuhkan atau mencegah dari keberhayaan suatu peyakit, yang perlu diperhatikan dari efek samping obat penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi kesehatan. Apalagi saat ini banyak oknum yang menjual kortikosteroid tanpa resep dari dokter, misal diplatform jual beli online, diwarung-warung yang juga dijual dari luar bidang kesehatan maupun masyarakat umum. 


Saat pandemi Covid-19, penggunaaan obat dari golongan kortikosteroid banyak diperlukan pada pasien yang terinfeksi virus Covid-19 pada kondisi tertentu, sehingga banyak bermunculan obat dijual dengan bebas. Penggunaan obat yang tidak dimonitoring, tidak dilakukan evaluasi oleh tenaga kesehatan terutama farmasi atau apoteker dapat menyebabkan adanya medication error yang dapat menimbulkan masalah dari penggunaan obat yang tidak rasional. 


Istilah kortikosteroid digunakan secara klinis untuk menggambarkan agen dengan aktivitas glukokortikoid. Kortikosteroid adalah mediator hormon yang diproduksi oleh korteks kelenjar adrenal yang selanjutnya dikategorikan menjadi glukokortikoid (glukokortikoid utama yang diproduksi oleh tubuh adalah kortisol), mineralokortikoid (mineralokortikoid utama yang diproduksi dalam tubuh adalah aldosteron), aldosteron dan hormon seks androgenik (hormon seks pada pria dan wanita). Kortikosteroid digunakan dalam banyak kondisi. Kortikosteroid memiliki banyak aplikasi dalam mengobati  alergi, gangguan responsif terhadap steroid, peradangan, penyakit kulit, dan penyakit fungsi kekebalan berdasarkan efek anti-inflamasi dan imunosupresif (menekan sistem mun) yang signifikan


Kortikosteroid merupakan terapi penting dan menyelamatkan jiwa ketika efek antiinflamasi atau imunosupresif diperlukan. Kortison endogen pertama kali disintesis pada tahun 1944 dan diisolasi pada tahun 1935. Pada tahun 1948, Dr. Philip S Hench memberikan kortison (disebut Senyawa E pada waktu itu) kepada seorang wanita usia 29 tahun yang terbaring di tempat tidur akibat artritis reumatoid aktif. Pasien dapat berjalan setelah tiga hari perawatan menggunakan senyawa tersebut. Di Indonesia sendiri banyak orang menyebutkan kortikosteroid seperti dexamethasone disebut sebagai obat dewa dan ada yang menyebutkan sebagai dua mata pedang karena kortikosteroid dapat memodulasi fungsi kekebalan.

Kortikosteroid digunakan pada semua spesialisasi medis pada fasilitas pelayanan Kesehatan. Tergolong sebagai obat keras yang harus dibeli dengan resep dari dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Namun, kortikosteroid seperti metilprednisolon, triamsinolon, dan dexamethasone dapat dibeli tanpa resep dokter karena termasuk obat open the counter (OTC).  Tersedia dalam bentuk sediaan oral, injeksi i.m, salep, krim, gel, oftalmik, enema, dan inhalasi hidung yang telah dikembangkan berdasarkan aktifitas biologis aktif dengan gugus hidroksi karbon-11. Pemberian rute intramuscular berisiko atrofi otot lokal dan untuk menangani gangguan inflamasi spesifik dapat direkomendasi menggunakan triamsinolon satu-satunya yang dipilihkan. Betametason intramuscular bagi ibu hamil kurang dari 37 minggu bermanfaat untuk merangsang pematangan paru janin yang dikandung. Pemilihan obat melalui rute atau sediaan non sistemik lebih disukai dibandingkan rute sistemik yang berguna untuk meminimalkal efek samping sistemik.

Berdasarkan sifat kortikosteroid sistemik, pengobatan dengan aksi pendek pada obat hidrokortison, aksi menengah seperti prednisolon, prednison, dan metilprednisolon, serta obat dengan aksi panjang contohnya dexametason.

Intranasal kortikosteroid menjadi pilihan utama pada aplikasi klinis seperti penyakit rhinitis alergi, sinusitis, asma konis, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), contohnya beclometason, budesonid, flunisolide, mometason, flutikason, triamsinolon dan nasal steroid lainnya seperti sodium kromolin, ipratropium bromide, montelukast.

Penggunaan kortikosteroid jangka pendek dapat menyelamatkan jiwa pasien dan efek samping jangka pendek masih dapat dimonitoring. Penggunaan secara kronis, bahkan pada dosis terendah, dikaitkan dengan konsekuensi merugikan yang signifikan, sehingga kortikosteroid sistemik jarang dipilih sebagai pengobatan utama. Menimbang manfaat harus lebih besar dibandingkan risiko yang ada kortikosteroid dapat menjadi pengobatan pilihan untuk kondisi kronis. Penggunaannya terkadang tidak dapat dihindari pada penyakit imunologis, yang tidak dapat dikontrol secara memadai dengan terapi alternatif.

Dosis tapering beruna pada penyakit akut dimulai dari dosis tinggi dan tapering setiap hari selama 7-9 hari dapat digunakan Sediaan oral kortikosteroid berguna untuk indikasi penyakit akut dan kronis. Misal pada eksaserbasi akut dari penyakit kronis yang mendasarinya seperti PPOK, asma, rheumatoid arthritis, psuodogout, dan lupus eritematosus sistemik (SLE). Pada dosis sedang hingga dosis tinggi dalam durasi yang pendek kortikosteroid berguna untuk mengobati rebound flare atau suar. Untuk aplikasi sediaan oral jangka panjang berguna pada penyakit kronis seperti limfoma, leukemia, vaskulitis, multiple sclerosis, RA, SLE, polimialgia, dan transplantasi organ. Gunakan dosis terendah dan durasi singkat dalam kasus ini dan dosis harus diturunkan secara perlahan pada pasien yang menggunakan steroid jangka panjang untuk mencegah kemungkinan adanya krisis adrenal. 

Efek samping jangka pendek seperti perdarahan gastrointestinalhiperglikemia, busung, gangguan tekanan darah,dan komplikasi yang lebih serius; masalah kejiwaan, peningkatan risiko infeksi, penyembuhan luka yang buruk dan dan gangguan elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia). Sedangkan efek samping jangka panjang perlu diwaspadai dengan terganggungan waktu tidur, peningkatan kadar glukosa darah, gangguan mata (katarak, glaucoma),  gangguan jiwa, hirsutisme, nafsu makan meningkat sehingga meningkatkan berat badan, penekanan pertumbuhan, antrofi kulit, osteoporosis, timbul jerawat, penekanan sumbu hipotalamus hipofisis adrenal, perubahan penampilan fisik (punuk kerbau, fasies bulan), dimana kondisi tersebut merupakan reaksi obat yang merugikan bagi pasien. Baik efek samping jangka pendek maupun efek samping jangka panjang, keduanya dapat memperparah kualitas hidup pasien, menyebabkan berkurangnya kepatuhan dalam minum obat, sehingga menimbulkan masalah baru bagi fisik pasien. 

Interaksi obat secara potensial dengan terapi golongan kortikosteroid sistemik bersamaan dengan ACEI, amfoteresin B, cobicistat, ritonavir, estrogen, karbamazepin, vaksin, warfarin, agen antidiabetes, ketokonazol, itrakonazol, NSAID (terutama salisilat), rifampisin, fenobarbital, siklosporin, dan jus anggur. Jika menemui obat-obat yang disebutkan bersamaan dengan obat golongan kortikosteroid maka sebaiknya dihindari dengan memberi jarak minum 1-2 jam sebelum atau sesudah makan dan paling baik diminum menggunakan air mineral. 

Kontraindikasi yang paling umum adalah reaksi hipersensitivitas. Secara sistemik kontraindikasi termasuk pemberian intratekal, infeksi jamur sistemik, malaria selebral, purpura tromositopenia, vaksi hidup maupun yang dilemahkan, dan pada bayi yang lahir prematur. Kontraindikasi secara topical karena infeksi bakteri, jamur, virus pada mulut atau tenggorokan dari penggunaan triamsinolon, dan pada area mata seperti infeski mata purulent akut yang tidak diobati, konjungtivitis karena virus, keratitis, infeksi mata karena mikobakteri atau jamur.

Penilaian dan monitoring harus diperhatikan oleh tim Kesehatan termasuk kondisi yang sudah ada sebelumnya, dimana harus dinilai dan diobati jika menimbulkan masalah baru meliputi diabetes mellitus, gangguan kejiwaan, hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik, katarak dan glaucoma, ulkus peptikum, infeksi, gangal jantung dan edema perifer, dan kepadatan tulang yang rendah atau osteoporosis. 

 

Post a Comment

0 Comments

Ad Code

Responsive Advertisement