ANTISEPTIKA
Antiseptika/antiseptik berasal dari kata Yunani, verba antiseptik: anti–anti dan sepsis–busuk; oleh karena itu, antiseptik secara literal berarti anti busuk. Secara garis besar, antiseptik merupakan bahan kimia yang dibalurkan pada kulit atau jaringan hidup lainnya dengan tujuan menhambat pertumbuhan mikroba. Antiseptik atau germisida adalah senyawa kimia yang difungsikan untuk menghambat atau membunuh pertumbuhan jasad renik (mikroorganisme) pada jaringan yang hidup seperti pada jaringan lunak/membran mukosadan permukaan kulit. Penggunaan antiseptik sangat dianjurkan ketika terjadi epidemiologi penyakit karena dapat memperlambat penyebaran penyakit. Tindakan ini tidak melibatkan penghancuran spora (Murray, Rosenthal, dan Pfaller, 2020). Konsepsiyang berasosiasi dengan antisepsis adalah pengertian asepsis. Istilah-istilah ini tidak dapat disamakan. Asepsis bertujuan untuk menjamin sterilitas obat-obatan, peralatan, ruangan, pembalut, dan benda lainnya, sehingga mencegah kontak mikroba dengan luka. Asepsis terdiri dari proses penghancuran mikroba secara kimia dan fisik. Antiseptik berbeda dengan disinfektan dan antibiotik, yaitu antibiotik diperuntukkan membunuh jasad renik di dalam tubuh, dan disinfektan digunakan untuk membunuh mikroorganisme pada benda mati. Hal ini dipengaruhi oleh antiseptik lebih aman diaplikasikan pada jaringan hidup, dibandingkandisinfektan. Penggunaan disinfektan lebih ditujukan pada benda mati, contohnya meja atau wastafel. Namun, antiseptik yang kuat dan dapat mengiritasi jaringan kemungkinan dapat dialihfungsikan menjadi disinfektan contohnya adalah senyawa fenol yang dapat digunakan menjadi dua fungsi yaitu, sebagai antiseptik maupun disinfektan (Jain, 2004).
Efektivitas Antiseptik
Efektivitas/pengaruh antiseptik dalam membunuh mikroorganisme bergantung pada beberapa faktorpredisposisi, contohnya lama paparan dan konsentrasi (Block, 2001). Konsentrasi memengaruhi adsorpsi atau penyerapan elemen dari antiseptik. Ketika konsentrasi antiseptik tersebut tinggi, komponen antiseptik akan berpenetrasi ke dalam sel dan mengganggu fungsi normal seluler secara luas, termasuk menghambat biosintesis(pembuatan) makromolekul dan persipitasi protein intraseluler dan asam nukleat (DNA atau RNA). Pada konsentrasi rendah, beberapa antiseptik menginhibisi fungsi biokimia membran bakteri, tetapi tidak akan membunuh bakteri tersebut. Lama paparan antiseptik dengan banyaknya kerusakan pada sel mikroorganisme berbanding lurus (Franklin dan Snow, 2005).
Aplikasi penggunaan Antiseptik
Antiseptik digunakan pada permukaan tubuh, terutama pada kulit, selaput lendir dan permukaan luka. Penggunaan antiseptik untuk pencegahan dan pengobatan memiliki perbedaan (Junka et al, 2014). Agen ini sering digunakan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengendalikan/mengurangi risiko infeksi serta mencegah infeksi nosokomial. Antiseptik digunakan oleh staf medis dan professional kesehatan untuk mendekontaminasi kulit pada area tangan, membersihkan kulit bekas operasi atau sebelum operasi, dan membersihkan luka akut dan kronis. Senyawa ini juga digunakan sebagai pengobatan luka terbuka dan terkadang infeksi pada kulit (Karpiński, Sopata, dan Mańkowski, 2020) . Masyarakat umum semakin sering menggunakannya karena khawatir akan kontaminasi mikroba pada makanan, minuman, dan barang industri. Belakangan ini, dengan meningkatnya kesadaran umum mengenai bahaya mikroba tertentu, seperti wabah Covid-19/SARS-CoV-2, mikroba tersebut digunakan di rumah dan tempat kerja untuk mengurangipenyebaran infeksi (McDonnell dan Russell, 1999).
Gambaran Antiseptik
Antiseptik harus memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum yang luas (bakteri, virus, dan jamur), mencakup juga mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotik seperti Staphylococcus aureus (MRSA) yang resisten methisilin atau enterococci yang resistan terhadap antibiotic vankomisin (VRE). Banyak dari agen ini dapat digunakan secara swamedikasi atau dalam kemasan produk yang mengandung beberapa komponen dengan aktivitas melawan antimikroba yang berbeda dalam efektifitas dan spektrumnya terhadap mikroorganisme (McDonnell dan Russell, 1999). Perlu didokumentasikan bahwa dalam antiseptik profilaksis, agen tersebut diterapkan satu atau beberapa kali dalam jangka waktu singkat. Bentuk antisepsis ini kuat dan bekerja cepat. Namun, dengan antisepsis terapeutik, senyawa tersebut digunakan secara berkelanjutan dan kerapkali untuk penggunaan jangka waktu yang lebih lama. Selain itu, sitotoksisitasnya yang rendah dan aktivitas antimikroba yang baik juga penting untuk menilai keamanannya (Muller dan Kramer, 2008). Antiseptik secara umum harus aman digunakan, tidak menimbulkan reaksi alergi atau nyeri, dan tidak bersifat toksik, karsinogenik, atau mutagenik, sama halnya pada penilaian penggunaan komersial obat-obatan. Selain itu, obat tersebut harus mencapai konsentrasi antimikroba yang efektif di tempat kerja dan tidak menyebabkan timbulnya resistensi. Tergantung pada aplikasi (tujuan), bahan/komposisi tersebut harus mempunyai sifat kimia dan fisikayang sesuai seperti bau, warna, dan rasa, konsistensi. Senyawa tersebut juga tidak bisa mengganggu penyembuhan luka. Selain itu, zat-zat tersebut harus menunjukkan aktivitas melawan biofilm bakteri (Junka et al, 2014). Indeks Biokompatibilitas (BI) membantu memilih dan menilai antiseptik yang tepat serta sesuai. Nilai BI lebih dari 1 menunjukkan bahwa produk tersebut mempunyai ciri aktivitas spektrum luas terhadap mikroorganisme dan tingkat sitotoksisitas yang rendah terhadap fibroblas atau keratinosit; Oleh karena itu, pemakaiannnya tidak berdampak buruk pada proses penyembuhan. Senyawa yang memenuhi persyaratan ini adalah oktenidin (BI = 1.7–2.1) dan poliheksanida (BI = 1.4–1.5) (Muller dan Kramer, 2008).
Selain itu, penelitian Pitten et al. mengungkapkan bahwa sifat bakterisidal antiseptik berubah di bawah pengaruh zat seperti eksudat pada albumin, luka, musin, atau darah. Oleh karena itu, penggunaan antiseptik tertentu bergantung pada target/aksi kerjanya (mekansime kerja) dan keberadaan zat pengganggu (Pitten, Werner, dan Kramer, 2003).
Antiseptik Lama
Banyak senyawa yang digunakan dalam antisepsis luka sejak abad ke-19. Ditemukan pertama kali adalah asam karbol (fenol), diisolasi oleh Runge pada tahun 1834 dan berfungsi sebagai antiseptik oleh Joseph Lister. Beliau mengoleskan perban yang direndam dalam larutan cair asam karbol pada luka pasien. Selain itu, ia merekomendasikan senyawa ini digunakan untuk mendisinfeksi dalam bidang operasi dan disinfeksi area tangan (Pitt, Aubin, dan joseph, 2012). Hasil temuan mereka memasukkan senyawa lain dalam antiseptik lama, seperti asam borat, etakridin laktat, kalium permanganat, hidrogen peroksida, iodoform, atau larutan etanol yodium. Diketahui senyawa-senyawa tersebut mempunyai banyak kelemahan, contohnya, kemanjuranantimikroba yang buruk, peningkatan resistensi di antara bakteri, kemampuan yang buruk untuk menembus biofilm, intoleransi jaringan, menimbulkan rasa sakit, memicu respons alergi, sitotoksisitas dan/atau karsinogenisitas, dan inaktivasi di bawah pengaruh muatan protein (Kujath dan Michelsen, 2008). Contoh lainnya, iodoform digunakan antara lain dalam kedokteran gigi, namun iodoform memiliki sifat iritan yang kuat, diamana menimbulkan reaksi hipersensitivitas atau alergi dan bersifat sitotoksik terhadap makrofag dan sel epitel (Maillard , Kampf, dan Cooper, 2021). Di sisi lain, tingtur air-alkohol yodium telah banyak digunakan dalam terapi di masa lampau. Larutan konsentrasi 5% digunakan pada manusia sebagai agen anti bakteri dan anti jamur, sedangkan larutan 10% digunakan dalam kedokteran hewan. Sayangnya, bahan ini cenderung menyebabkan luka bakar kimia, memiliki periode aktivitas yang singkat dan relatif tidak stabil (Rutalla dan Webber, 2008). Selama bertahun-tahun, antiseptik digunakan sebagai pewarna dalam larutan, seperti biru metilen, kristal violet, hijau cemerlang, dan hijau perunggu. Namun, banyak penelitian telah menunjukkan aktivitas pewarna yang bersifat mutagenik dan karsinogenik (Basumatary et al, 2021). Di Italia diproduksi antiseptik dengan 2% eosin; Saat ini, tidak belum tersedia informasi/data apapun tentang aktivitas antimikroba eosin.
Antiseptik Pada Luka
Oktenidin Dihidroklorida
Oktenidin dihidroklorida (octenidine dihydrochloride) (OCT) adalah zat aktif permukaan kationik, tidak mudah menguap (non volatile). Senyawa ini memiliki stabilitas pada pH 1,6–12,2. Diketahui, pH tersebut tidak mengubah sifat-sifatnya di bawah pengaruh cahaya dan penyimpanan pada suhu kamar. Senyawa ini dapat disterilkan pada suhu 130 °C dengan sterilisasi uap (Muller dan Kramer, 2008). Senyawa ini memiliki dua pusat yang aktif secara kationik. Gambaran tersebut memungkinkan Oktenidin terikat pada permukaan bermuatan negatif dengan mudah. Ini termasuk selubung sel mikroba dan membran sel eukariotik. Oktenidin memiliki afinitas terhadap fosfolipid dan polisakarida. Oleh karena itu, Oktenidin yang dioleskankan pada kulit, selaput lendir atau luka memberikan aktivitas melawan bakteri, jamur dan virus yang menyelimuti. Oktenidin dalam komposisi 0,05-0,1% bersifat mikrobisida hanya dalam 1 menit terhadap bakteri dan jamur yang diujikan, termasuk Candida albicans, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus (Hubner, Siebert, dan Kramer, 2010). Studi menunjukkan, belum terdapat laporan kasus yang dikonfirmasi mengenai resistensi yang didapat terhadap antiseptik ini.
Aplikasi OCT
OCT diaplikasikan dalam medikasi dan tindakan preventif infeksi lokal berbentuk gel dan cairan (Kampf, 2018). OCT tersedia dalam produk yang digunakan untuk antisepsis luka dan selaput lendir, termasuk rongga mulut, dan dengan tambahan alkohol untuk mendisinfeksi kulit sebelum tahapan diagnostik dan bedah. Penerapanini juga ditemukan dalam produk cuci tangan di kalangan pasien dan staf medis (Al-doori et al, 2007). Produk yang mengandung antiseptik ini biasanya memiliki konsentrasi OCT 0,05-0,1%. Karena aktivitas antimikroba yang sangat baik dari OCT 0,1% yang dikombinasikan dengan fenoksietanol, bahan ini memiliki kemanjuranuntuk mengobati infeksi, traumatis, dan luka akut, diantaranya luka yang disebabkan oleh strain multi-resisten. Untuk mencuci, membilas dan membersihkan luka pada area yang luas, konsentrasi OCT 0,05% dengan kandungan etilheksilgliserin direkomendasikan penggunananya. Gel dengan OCT efektif untuk luka bakar dan lebih baik dibandingkan PVP-I dan perak dalam sebuah studi. Selain itu, keamanan dan kemanjuran penggunaan pada neonatus dan bayi prematur, serta wanita hamil dan menyusui, telah dikonfirmasi. Keamanan pada populasi tersebut sangat perlu diperhatikan, mengingat tumbuh kembang janin dan bayi baru lahir sangat diperhitungkan. Misalnya pada ibu menyusui akan mempengaruhi ekskresi ASI dari ibu ke bayi dan pada Wanita hamil akan berpengaruh terhadap perkembangan janin. Sebuah studi penelitian telah mengungkapkan bahwa penggunaan OCT untuk melapisi tabung trakeostomi dalam mengurangi infeksi pada pasien yang menggunakan ventilasi buatan. Namun, penerapannya pada produk siap pakai belum ditemukan. Penambahan surfaktan pada produk yang mengandung OCT memiliki efek anti-biofilm yang kuat dan efektif. Diketahui, tidak ada kontraindikasi dalam penggunaan produk yang mengandung OCT dengan dressing khusus yang mengandung senyawa polihexanideatau perak. OCT juga digunakan untuk melapisi jahitan bedah (Kramer et al, 2018, Sopata et al, 2018).
Keamanan OCT
OCT diketahui tidak menembus selaput lendir, kulit, penghalang plasenta atau luka. Tidak ada reaksi obat yang merugikan yang diamati saat menggunakan oktenidine pada kulit. Terkonfirmasi bahwa bahan ini tidak terserap melalui kulit, seperti halnya antiseptik berbahan dasar alkohol, mendukung penggunaannya pada bayi baru lahir dan bayi prematur. Untuk alasan ini, oktenidin disetujui untuk penggunaan laur badan dan tidak ada efek toksik sistemik atau lokal yang diharapkan terjadi pada pasien yang dirawat. Selain itu, OCT memiliki sitotoksisitas yang lebih rendah terhadap fibroblas dan sel epitel manusia dibandingkan klorheksidin yang digunakan dalam obat kumur. Studi yang dilakukan oleh Muller dan Kramer melaporkan bahwa OCT lebih toksik terhadap mikroorganisme dibandingkan fibroblas tikus, sehingga menunjukkan manfaat signifikan yang diberikan oleh sifat antimikrobanya melebihi potensi efek sitotoksiknya (Kampf, 2018).
OCT direkomendasikan sebagai penggunaan topikal, karena tidak dapat digunakan untuk injeksi, untuk membilas rongga peritoneum atau untuk pemberian ke struktur sistem saraf pusat (SSP). Untuk memastikan keamanan saat menggunakan OCT, drainase harus disediakan. Sebuah uji klinis menegaskan kemungkinan penggunaan OCT hingga 3 bulan pada luka yang sulit disembuhkan (Vanscheidt et al, 2012).
Povidon-Yodium (Polivinilpirolidon-Iodium; PVP-Yodium)
Iodin khususnya dalam sediaan povidon iodin merupakan antiseptik dengan mekanisme kerjamenghancurkan sel kuman yang menyebabkan kuman menjadi tidak aktif. Saat ini, senyawa yodium yang paling banyak pilih dalam perawatan adalah polivinilpirolidon-iodin (PVP-I), yang digunakan dalam produk luka dan salep. Selain tersedia dalam bentuk cairan pembersih yang digunakan pada kulit, povidon iodin juga dapatditemukan dalam bentuk tetes mata, vaginal douche, obat kumur, atau semprotan. PVP-I diperkenalkan sebagai antiseptik oleh Shelanski pada tahun 1956 (Chabbra, 2021). Bentuk dari bahan ini dengan menggabungkan molekul yodium dengan polivinilpirolidon yang larut dalam air. Pada PVP-I, povidone bertindak sebagai pembawa yodium dan mampu menyerap yodium dan mengangkutnya, namun tidak bereaksi dengan yodium. Namun, zat aktif dalam senyawa ini adalah yodium itu sendiri. Larutan PVP-I konsentrasi 5–12% digunakan untuk tujuan antiseptik (Kampf, 2018). Perlu dicatat bahwa konsentrasi yodium bebas meningkat seiring dengan pengenceran sediaan. Melalui pengenceran, ikatan yodium dan pembawa (PVP) melemah, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan yodium bebas dalam larutan. Larutan encer (0,1–1%) memiliki aktivitas kerja lebih cepat jika dibandingkan dengan larutan pekat 10%. PVP-I menunjukkan aktivitas bakterisida, fungisida, dan virus terhadap virus yang terbungkus dalam durasi 1-5 menit (Bigliardi et al, 2017). Larutan PVP-I 1% juga memiliki aktivitas sporisidal terhadap spora Bacillus subtilis , namun waktu kerja yang diperlukan untuk membunuh 99% adalah selama 28 hingga 93 menit (Sauerbrei, 2020). Keberadan iodin sebagai antiseptik ramai diperbincangkan karena dianggap mampu menurunkan penularan Covid-19 namun penelitian ini masih perlu dikembangkan dan digali lebih dalam (Flynn dan Jamen, 2003).
Aplikasi PVP-1
Polivinilpirolidon Iondium (PVP-I) terutama digunakan dalam bentuk cairan dan salep, salep dengan konsentrasi masing-masing 7,5% dan 10% (Sopata et al, 2020). Terdapat juga sediaan berbentuk bubuk. Larutan PVP-I digunakan sebagai bahan pengobatan untuk pengobatan antiseptik luka kecil dangkal pada kulit dan selaput lendir (Bigliari et al, 2017). PVP-1 merupakan bahan yang direkomendasikan untuk luka tembak, luka tusuk dan gigitan. Dalam kasus luka kronis, penggunaannya tidak dianjurkan karena memiliki efek sitoktoksik dan kurangnya tindakan sinergis dengan balutan perak. PVP-1 juga dapat digunakan pada luka pasca operasi dan ulkus pada pasien diabetes melitus. PVP-I juga kadang-kadang digunakan untuk pengobatan periodontitis non-bedah; Namun pengobatan ini jarang digunakan karena warnanya coklat. Larutan alkohol PVP-I digunakan untuk mendisinfeksi kulit sebelum tindakan operasi. Karena kemungkinan luka bakar pada kulit dan kandungan alkoholnya, antiseptik ini tidak disarankan pemberiannya pada anak di bawah usia 7 tahun. Namun, larutan PVP-I disarankan untuk digunakan pada bayi baru lahir sebagai bakterisida sebelum prosedur invasif. Selain itu, penggunaan bilas intraoperatif dengan yodium mengurangi insiden infeksi, terutama pada artroplasti (3,5% Betadine), operasi tulang belakang (3,5% betadine), operasi payudara (4% larutan PVP-I), dan operasi perut (Betadine gel). Sebuah penelitian baru-baru ini melaporkan bahwa pemberian antimikroba jangka pendek dari PVP-I tidak efektif terhadap biofilm mikroba (Johani et al, 2018). Sediaan PVP-I direkomendasikan untuk luka tajam, terpotong dan terkoyak; namun, obat ini tidak direkomendasikan untuk luka kronis dan luka yang sulit disembuhkan karena indeks BI yang rendah (<1). Sediaan PVP-I tidak boleh dicampurkan dengan dressing khusus yang mengandung senyawa perak, yang juga membatasi penggunaannya dalam pengobatan luka kronis (Kramer at el, 2018).
Keamanan PVP-1
PVP-I dapat mengiritasi kulit walaupun dalam jumlah kecil dibandingkan dengan larutan yodium biasa. Selain itu, PVP-I diketahui memiliki sifat toksik yang rendah dan oleh karena itu, konsumsi yang tidak disengaja kurang berbahaya dibandingkan larutan yodium biasa. Tidak ada efek karsinogenik, mutagenik, neurotoksik, atau teratogenik, yang ditemui hingga saat ini (Kramet et al, 2018). Penelitian Zhou et al (2002), tidak menunjukkan aktivitas sitotoksik pada sel fibroblas, pada konsentrasi 0,45%. PVP-I tidak boleh digunakan pada wanita hamil atau selama menyusui, bayi baru lahir, dan anak kecil. Penyakit gangguan tiroid dan radioterapi yodium juga dikontraindikasikan. Meskipun tidak ada kasus tiroid yang dilaporkan, durasi penggunaan povidone-iodine tidak boleh digunakan lebih dari 7 hari, karena gangguan tiroid dapat terjadi (Kramer at el, 2018). Tidak ada kerusakan jaringan yang diamati dalam beberapa penelitian yang meneliti pengobatan luka kronis dengan PVP-I (Bruyere et al, 2020).
Polihexanida
Biguanida poliheksametilen hidroklorida (poliheksananida, PHMB), pertama kali disintesis pada tahun 1950-an di laboratorium ICI Ltd. Senyawa ini termasuk polimer biguanida kationik. PHMB berikatan dengan gugus fosfat fosfolipid bermuatan negatif yang merupakan komponen dinding sel bakteri. Dengan menenggelamkan segmen molekul non-polar ke dalam bagian dalam hidrofobik membran sel, kondisi ini mengakibatkan membran tidak berfungsi. PHMB meningkatkan jarak antara molekul lipid pada membran dan mempengaruhi berfungsinya reseptor sel bakteri. pompa ion, dan berbagai enzim. Selain itu, ini membuat membran bilayer cair menjadi kaku, menyebabkan peningkatan permeabilitasnya. Akumulasi efek buruk yang disebabkan oleh PHMB pada akhirnya menyebabkan terganggunya dinding sel dan membran serta kematian mikroorganisme yang terpapar antiseptik (Kaehn, 2010). Sampai saat ini, tidak ada kasus yang dikonfirmasi mengenai resistensi yang didapat terhadap antiseptik ini yang dilaporkan. Zat ini tidak korosif, tidak berwarna, tidak berbau, dan larut dalam alkohol dan air. PHMB bersifat fungisida dan bakterisida dalam waktu 15-30 menit setelah diaplikasikan (Kremer et al, 2018).
Aplikasi PHMB
PHMB digunakan dalam industri konsumen non-medis selama sekitar 40 tahun dalam berbagai aplikasi antimikroba seperti perawatan desinfeksi industri, anti-bakteri pada tekstil, sanitasi air rekreasim, dan pengawetan kosmetik (Kaehn, 2010). Seorang ahli bedah Swiss Willenegger, memperkenalkan aplikasi medis. Pada tahun 1990an, dia menerapkan untuk mengobati luka secara lokal. Polihexanide tersedia dalam bentuk gel dan cairan dalam sediaan komersial yang dikombinasikan dengan larutan ringer laktat, betaine atau poloxamer. Agen ini hadir dalam konsentrasi 0,1%, 0,02%, dan 0,04%. Dressing yang diresapi PHMB juga tersedia. Seperti dilaporkanKramer et al (2018), balutan tersebut sepenuhnya menghilangkan strain Staphylococcus epidermidis dalam waktu 24 jam. PHMB aktif melawan strain MRSA dan VRE. Lebih baik dalam penyembuhan luka dibandingkan perak dan PVP-I, karena tidak menghambat proses reepitelisasi dan menghambat enzim proteolitik. Oleh karena itu, obat ini direkomendasikan untuk luka bakar derajat dua dan pengobatan lesi epitel (Sopata et al, 2020). Sebuah studipenelitian terbaru muncul yang menunjukkan peran pendukung PHMB dalam pengobatan vaginosis bakterialis.
Keamanan PHMB
Meskipun PHMB memiliki afinitas tinggi dengan sel mikroba, zat ini memiliki efek terbatas pada sel hewan dan manusia (O’Malley, Shaw, dan Collins, 2007). Polihexinide memiliki keuntungan keamanan yang besar dalam penggunaan secara klinis. Studi pada dermatologi manusia menunjukkan rendahnya penyerapan agen ini melalui bagian lapisan epidermis. Hasil penelitian juga menunjukkan efek samping yang rendah kemungkinan terjadinya reaksi alergi. Alergi terhadap PHMB dihubungkan dengan dermatitis, paparan pekerjaan, dan usia tua. PHMB mengiritasi saluran respirasi pada konsentrasi 264 mg/m3. PHMB memiliki afinitas tinggi terhadap struktur jaringan. Oleh karena itu, penggunaan jangka panjang sebaiknya dihindari. Saat ini, bukti mengenai aspek penggunaan PHMB yang tidak diinginkan ini didukung oleh munculnya jaringan inert berwarna keabu-abuan setelah penggunaan PHMB tunggal atau dalam kombinasi dengan betaine. Penelitian pada hewan mengungkapkan peningkatan kejadian tumor pembuluh darah, terutama hemangiosarcoma hati, diketahui initial dosis dari 28 mg/kg. Menurut Committee for Risk Assessment (RAC), potensi PHMB dianggap menyebabkan efek karsinogenik (PHMB, 2021).
Natrium Hipoklorit (NaOCl)
Klor aktif merupakan senyawa aktif yang dilepaskan dari larutan natrium hipoklorit berair. Dalam air, NaOCl terhidrolisis menjadi asam hipoklorit, yang kemudian dijaga kesetimbangannya dengan klorin. Artinya perbandingan ion klor (Cl2), asam hipoklorit (HClO) dan ion ClO- hipoklorit bergantung pada ] pH lingkungan perairan dan suhu. Natrium hipoklorit adalah zat yang tidak stabil sebagai garam murni. Oleh karena itu, ia diproduksi dan digunakan sebagai larutan berair dengan pH di atas 11 pada 20 °C. Secara alami, larutan natrium hipoklorit dianggap tidak stabil. Stabilitasnya bergantung pada beberapa faktor, termasuk suhu, konsentrasi, penyimpanan, udaran dan ketersediaan cahaya. Laju penguraian NaOCl meningkat seiring dengan menurunnya pH. Sebagian besar penelitian yang dipublikasikan dilakukan secara in vitro, dan harus diingat bahwa efektivitas natrium hipoklorit (NaOCl) juga bergantung pada kondisi seperti eksudat luka dan kandungan protein (Kampf, 2018).
Aplikasi NaOCl
Natrium hipoklorit banyak dipakai oleh konsumen swasta serta operasi industri besar. Umumnya digunakan dalam pencucian, pewarnaan kain, dan pembersihan, serta dalam kosmetik, parfum, produk perawatan tubuh, dan pengolahan air minum dan air limbah. NaOCl juga banyak digunakan dalam desinfeksi permukaan. Dalam bidang pertanian, natrium hipoklorit digunakan sebagai bahan pengolahan benih dan tanah (Vanscheidt et al, 2012).
Penelitian yang berasal dari Jepang menunjukkan penggunaan natrium hipoklorit diperuntukkan sebagai antiseptik di lokasi bedah ( 0,01–0,05%), eksfolian tangan (0,01–0,05%), disinfektan alat (0,0125–0,05%), disinfektan permukaan (0,0125–0,05%), dan antiseptik untuk luka kulit dan mukosa (0,005–0,01%) (Narui et al, 2007). Larutan dalam komposisi asam hipoklorit digunakan dalam penyembuhan luka, untuk mencuci luka traumatis akut dan kronis tanpa drainase, misalnya rongga peritoneum. Kramer et al (2018), melaporkan legitimasi penggunaan senyawa ini pada luka akut dan kronis. Produk tersedia dalam bentuk cairan atau gel. Hipoklorit yang digunakan dalam penyembuhan luka memiliki konsentrasi yang rendah yaitu 0,004% hingga 0,03%. Senyawa ini dapat ditoleransi dengan baik pada konsentrasi rendah yang disebutkan di atas. Konsentrasi hipoklorit di atas 0,05% mempunyai efek yang signifikan terhadap penghambatan fibroblas, efek yang tidak diinginkan dalam penyembuhan luka. Dalam kedokteran gigi, natrium hipoklorit diaplikasikan sebagai irigasi endodontik, dengan konsentrasi 0,5-5,25%, karena kemampuannya untuk melarutkan jaringan (Spencer, ike, dan Brennan, 2007).
Keamanan NaOCl
Absorbsi melalui kulit dapat diabaikan jika lapisan selnya utuh. Tidak ada efek sistemik yang ditimbulkankan dari penggunaan NaOCl secara topikal. Hal yang sama berlaku untuk sediaan bentuk inhalasi natrium hipoklorit. Namun, natrium hipoklorit pada konsentrasi lebih tinggi dari 10% bersifat korosif terhadap mata dan kulit. Sebaliknya, iritasi pada kulit dan nekrosis diamati pada konsentrasi 5–10%. Reaksi yang tidak diinginkan seperti dermatitis dan reaksi alergi dapat diamati pada pasien yang menggunakan NaOCl. Seseorangdengan hipersensitivitas terhadap natrium hipoklorit mungkin dapat mengalami gejala seperti nyeri, peradangan, dan gangguan respirasi (Guivarc’h et al, 2017). Banyak penelitian melaporkan bahwa natrium hipoklorit dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang bergantung pada konsentrasi, semakin tinggi konsentrasi yang diterapkan, maka efeknya akan semakin poten (Lee et al, 2011).
Nanoperak
Sejak abad ke-17 snyawa perak (silver) sudah digunakan dalam perawatan luka. Senyawa perak menyebabkan perubahan model protein membran bakteri, mengakibatkan pengeluaran ion H+ dan dengan demikian mengurangi gaya gerak proton. Selain itu, senyawa perak juga merusak permeabilitas membran sel, yang menyebabkan mortalitas mikroorganisme. Efek perak pada protein membran apa pun menjelaskan spektrum antimikroba yang luas (Dibrov et al, 2002).
Saat ini, nanopartikel perak terutama digunakan, yang diproduksi menggunakan dua metode: reduksi perak kimia dan ablasi laser. Namun, pada metode pertama, tidak mudah untuk mengatur ukuran nanopartikel yang terbentuk, seperti halnya pada metode terakhir. Sifat biokimia, fisik dan antimikroba bergantung pada ukuran nanopartikel perak. Selain itu, nanopartikel yang tersuspensi dalam larutan memiliki sifat magnetik, optik, dan katalitik yang berbeda. Ukuran nanopartikel mempengaruhi aktivitas antimikrobanya. Nanopartikel memiliki kontak permukaan yang lebih besar dengan mikroorganisme dan memungkinkan peningkatan interaksi antara keduanya. Efek elektronik yang dihasilkan oleh nanopartikel yang lebih kecil dari 10 nm meningkatkan reaktivitasnya dan mempengaruhi interaksi dengan bakteri. Penelitian Pal et al (2007), mengungkapkan bahwa bentuk partikel juga mempengaruhi aktivitas antimikroba. Partikel dengan gambaran segitiga memiliki aktivitasantimikroba yang lebih baik dibandingkan partikel berbentuk batang atau bola.
Nanopartikel perak berinteraksi dengan membran sel bakteri dan menembus bagian dalam sel. Keadaan tersebut dapat bereaksi dengan belerang dan fosfor, yang ditemukan di membran dan DNA bakteri. Partikel-partikel ini juga menyebabkan disregulasi berbagai elemen rantai pernapasan dan menonaktifkan enzim. Akibat dari semua interaksi ini, kematian sel bakteri dapat dijumpai keberadannya (Rai, Yadav, dan Gade, 2008).
Aplikasi Nanoperak
Banyak perangkat medis, kecuali pembalut, dilapisi dengan perak metalik atau ion perak terbukti tidak cukup aktivitas antimikrobanya untuk aplikasi klinis. Karena tanda-tanda munculnya resistensi terhadap perak oleh beberapa bakteri, terdapat peningkatan minat terhadap nanoform perak dengan aktivitas antimikroba yang lebih baik (Morgan et al, 2019). Saat ini, nanopartikel merupakan kandidat untuk melapisi perangkat medis. Furnoet al (2004), menjelaskan bahwa perangkat pelapis dengan nanopartikel efektif dan mencegah infeksi. Namun, aktivitas antimikroba menurun seiring dengan pencucian perangkat. Selain itu, nanopartikel perak digunakan untuk melapisi masker bedah. Gel dan dressing yang mengandung perak digunakan untuk mengobati luka kronis dan mencegah infeksinya. Penelitian tian et al (2007), pada hewan uji menunjukkan penyembuhan luka yang lebih baik, penampilan luka yang lebih baik, dan berkurangnya jaringan parut. Selain itu, nanopartikel perak dapat digunakan untuk pengolahan air dan secara efektif dihilangkan dengan medan magnet, sehingga diakui dapat menghilangkan pencemaran lingkungan. Perawatan Luka di Polandia mengizinkan penggunaan sediaan berbahan dasar perak untuk pengobatan luka yang berisiko infeksi dan luka dengan kolonisasi kritis sebagai tindakan lini kedua. Masyarakat menyatakan bahwa obat ini sebaiknya digunakan hanya sampai infeksinya sembuh dan tidak setelah itu atau digunakan jika perlu (Sopata et al, 2020).
Keamanan Nanoperak
Terlepas dari bentuk penggunaan ion perak (baik nanopartikel, senyawa organik, atau anorganik), perak sulfida yang tidak larut selalu dapat mengendap pada bagian dermis atau luka. Hal ini diwujudkan dalam bentuk argyria, yaitu perubahan warna menjadi hitam dan biru (Chen dan Schluesener, 2008). Penelitian Liu et al, menunjukkan bahwa toksisitas nanopartikel perak bergantung pada ukurannya. Partikel nano yang lebih kecil,lebih mudah menembus sel dan menyebabkan perubahan morfologi yang lebih besar. Nanopartikel perak dapat menginduksi penghentian siklus sel, menyebabkan kerusakan pada membran sel, dan akumulasi spesies oksigen reaktif dan apoptosis (Liu et al, 2010). Penelitian (Connolly et al, 2015), pada hewan uji telah mengkonfirmasi efek toksik nanopartikel perak pada organ seperti ginjal, hati, limpa dan kelenjar getah bening. Perak terakumulasi di masing-masing organ dan menyebabkan kehancurannya. Kadang-kadang, bahkan perubahan perilaku hewan pun diamati. Penelitian de Lima et al (2012) dan Munger et al (2013), menunjukkan bahwa sel manusia kurang rentan terhadap efek racun nanopartikel perak. Hal ini menunjukkan bahwa efek yang terlihat pada penelitian pada hewan mungkin tidak terjadi pada manusia, dan penelitian di masa depan harus dilakukan untuk mengkonfirmasi temuan ini. Paparan melalui secara oral lebih berbahaya dibandingkan dengan paparan luar.
Setelah masuk ke saluran sistemik atau oral, penurunan berat badan, perubahan parameter hati dan perubahan biokimia dalam darah diamati. Organ yang paling rentan adalah hati karena potensi detoksifikasinya sangat tinggi. Namun, penetrasi nanopartikel perak dari lumen usus ke dalam aliran darah dapat berdampak buruk pada seluruh organ. Nano-perak diekskresikan dalam urin dan empedu (Gaillet dan Rouanet, 2015). Namun, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan topikal pada kulit tidak terlalu beracun. Pemberian secara eksternal tidak menyebabkan penumpukan di organ-organ penting manusia dan terutama dikeluarkan melalui tinja. Oleh karena itu, sediaan topikal aman digunakan. Namun, dalam kasus penggunaan nanopartikel perak secara medis, pertimbangan harus diberikan pada dosis, rute pemberian, ukuran partikel, dan waktu paparan (Antony, Sivalingam, dan Chen, 2015).
Tabel 1. Rekomendasi Pengobatan Luka Tertentu
Indikasi | Zat antibakteri | |
Pilihan pertama | Pilihan kedua | |
Profilaksis SSI | OCT | - |
Terbakar | PHMB, OCT 0,05% | OCT/hipoklorit |
Risiko paparan PNS | Hipoklorit | PVP-1 |
Membilas rongga peritonium | Hipoklorit | - |
Dekontaminasi luka akut dan kronis | PHMB, hipoklorit | - |
Luka tanpa drainase | Hipoklorit | - |
Luka digigit, ditusuk, dan ditembak | PVP-1 | Hipoklorit |
Luka yang terkolonisasi atau terinfeksi oleh MDRO | OCT | OCT 0,05%, PHMB, perak |
Luka dengan kolonisasi kritis, luka dengan risiko terinfeksi | PHMB (0,02%, 0,04%, 0,1%), OCT (0,05%) | OCT/hipoklorit, perak |
Sumber: Kramer et al, (2018), Sopata el at (2018) (2020)
Jenis-Jenis Lainnya
Mekanisme kerja antiseptik terhadap mikroorganisme berbeda-beda, misalnya saja dengan mengoksidasi sel bakteri, mendehidrasi (mengeringkan) bakteri, meracuni sel bakteri, atau mengkoagulasi (menggumpalkan) cairan di sekitar bakteri (Havard, 1990). Beberapa contoh antiseptik diantaranya adalah asam borat, hidrogen peroksida, garam merkuri, dan triclosan.
Asam Borat
Asam Borat termasuk antiseptik yang lemah, tidak mengiritasi jaringan. Agen ini dapat digunakan secara optimum saat dihomogenkan di dalam air dengan perbandingan 1:20 (Havard, 1990).
Klorheksidin
Klorheksidin termasuk ke dalam kelas obat antiseptik. Mekanisme kerja obat ini dengan cara membunuh dan mencegah pertumbuhan bakteri. Cairan kumur klorheksidin dapat mengurangi terjadinya alveolar osteitis setelah pencabutan gigi. Klorheksidin dapat digunakan dalam bentuk spray sebagai cairan kumur atau infeksi sekunder pada ulser mukosa dan untuk mencegah gingivitis dalam sediaan gel, dan juga diaplikasikan sebagai tambahan untuk pemeliharaan kesehatan mulut (PIO Nas, 2021).
Garam merkuri
Komponen ini adalah salah satu antiseptik yang paling kuat. Merkuri Klorida (HgCl) dapat diaplikasikansebagai pencuci tangan dengan perbandingan dalam air 1:1000. Agen merkuri dapat membunuh hampir semua jenis bakteri gram positif dan negatif (aerob dan anerob) dalam hitungan menit. Kelemahan dari senyawa ini adalah sebagian besar dapat mengiritasi jaringan, karena potensi kerja antimikrobanya yang sangat kuat (Havard, 1990).
Hidrogen peroksida
Hidrogen Peroksida (H2O2) merupakan zat pengoksidasi, termasuk antiseptik yang kuat, namun tidak mengiritasi jaringan hidup (Jain, 2004). Agen ini dapat diaplikasikan sebagai antiseptik pada selaput lender atau membran mukosa. Kelemahan dari zat ini adalah harus selalu dipantau kualitasnya karena zat ini mudah mengalami kerusakan ketika kehilangan oksigen (Havard, 1990).
Triclosan
Triclosan merupakan antiseptik yang memiliki kemanjurang baik dan populer, dapat dijumpai dipasaran dalam deodorant, sabun, obat kumur, dan lain-lain. Triclosan memiliki intensitas antimikroba dengan spektrum luas (dapat melawan berbagai macam jenis bakteri gram positif dan gram negatif) dan mempunyai sifat toksisitas minim. Mekanisme kerja triclosan adalah sebagai inhibitor pembentukan senyawa kimia pada sel hidup (biosintesis) lemak sehingga membran mikrob kehilangan kekuatan dan fungsinya (Franklin dan Snow, 2005).
0 Comments