Ad Code

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Bagaimana Sih Pengujian Obat Baru dengan Uji Praklinik dan Uji Klinik ?

 PENGUJIAN OBAT-OBATAN BARU

Sebelum melakukan Uji Klinik perlu dipahami adanya Uji Praklinik serta produk uji yang merupakan bahan atau alat yang akan diuji. Berdasarkan kesepakatan yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) bahwa suatu bahan atau zat yang akan digunakan untuk tujuan pencegahan dan pengobatan harus melalui tahapan Uji Praklinik pada hewan coba. Uji Praklinik merupakan penelitian laboratorium untuk mempersiapkan penelitian selanjutnya yaitu Uji Klinik yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian.

Uji Praklinik adalah suatu uji yang dilakukan dengan tujuan mengumpulkan informasi toksikologi dan farmakologi untuk mengetahui batas keamanan dan khasiat suatu produk atau zat uji secara ilmiah yang dilakukan melalui uji toksisitas dan uji aktivitas. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mengevaluasi dan mendeteksi kondisi tingkat ketoksikan, sifat zat kimia, dan wujud suatu zat atau bahan yang akan digunakan sebagai obat maupun makanan, juga pada hewan uji tertentu untuk menentukan batas amannya. Obat atau makanan yang akan dipasarkan harus memenuhi syarat keamanan (lolos uji toksikologi). Uji toksikologi harus shahih. Keshahihan berhubugan dengan uji validitas yang dilakukan dan dipengaruhi banyak faktor seperti subjek uji, bahan uji, teknik atau tata cara, pengamatan, analisis dan evaluasi. 

 

Bahan uji meliputi spesifikasi dan sifat fisika kimia, misalnya kemurnian bahan uji untuk menentukan hasil, kelarutan bahan uji untuk menentukan proses uji atau proses pemejanan terhadap hewan uji. Stabilitas seperti degradasi bahan uji yang bisa terjadi saat melakukan uji. Bahan atau stok bisa dipakai selama penelitian atau harus dibuat baru tergantung dari jenis bahan apakah tahan terhadap suhu, udara dan pengaruh lainnya. Kondisi bahan uji harus disimpan pada suhu dingin dan wadah tertutup gelap.

 

Subjek uji atau hewan uji harus memiliki fungsi fisiologis yang sama atau mirip dengan organ tubuh manusia. Faktor penentuan lain adalah biaya dan masalah penanganan, kondisi fisiologis dan patologi hewan uji, serta keterbatasan penaganan. 

 

Secara umum uji toksisitas obat dibagi dalam 2 bagian yaitu uji toksisitas invitro dan uji toksisitas invivo. Berdasarkan lama waktu terjadinya efek toksik maka uji toksisitas umum dibagi atas tiga bagian yakni uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronik dan uji toksisitas kronik. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberiannya dengan takaran tertentu. Tujuannya untuk mempelajari ketoksikan, mepelajari gejala-gejala toksik dan klinik yang timbul, dan mempelajari mekanisme kematian subjek uji. Uji ketoksikan subkronik adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari tiga bulan. Tujuan dari uji ini untuk mengetahui apakah spektrum efek suatu senyawa berhubungan dengan takaran dosis, mengetahui spektrum efek toksik suatu senyawa uji, dan mengetahui harga NOEL (No Observe Adverse Effect level) atau dosis tertinggi yang tidak menimbulkana efek toksik. Selanjutnya, uji ketoksikan kronik yang mirip dengan uji ketoksikan subkronis. Yang diamati adalah lama pemejanan takaran senyawa uji, pengamatan selama masa hidup hewan uji, sehingga untuk penelitian dipilih hewan uji yang umurnya pendek. Manfaatnya adalah untuk mengevaluasi kemungkinan potensi terjadinya tumor atau kanker pada hewan uji, misal kanker yang artinya dapat melalui uji karsinogenik. 

 

Kemudian ada uji toksisitas khusus yang meliputi: uji teratogenik, uji karsinogenik dan uji mutagenik. Uji keteratogenikan untuk mengetahui kemungkinan munculnya cacat bawaan pada janin yang dikandung oleh induk yang sedang hamil akibat pemberian suatu senyawa tertentu. Uji karsinogenik untuk melihat potensi suatu senyawa dalam menimbulkan tumor atau kanker bila digunakan oleh manusia. Tumor adalah massa abnormal dari suatu sela tau jaringan yang tumbuh berlebihan dan tidak terkoordinasi dengan jaringan normalnya, yang meliputi tumor jinak dan tumor ganas. Uji kemutagenikan untuk melihat pengaruh suatu senyawa tertentu terhadap kode genetic sehingga bila berpengaruh akan menimbulkan mutase yang sifatnya menurun.

 

Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan uji toksisitas dapat memberikan informasi tentang tingkat keamanan suatu zat atau bahan pada hewan coba atau bahan biologi lainnya sebelum zat atau bahan tersebut digunakan di klinik. Sedangkan uji aktivitas (khasiat) obat adalah suatu uji untuk menentukan kebenaran khasiat suatu bahan uji yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metodologi dan parameter yang ditentukan berdasarkan tujuan penggunaan bahan uji yang akan dipakai di klinik. Obat atau vaksin yang dibuktikan aman melalui eksperimen invitro atau invivo pada hewan coba tidak menjamin keamanannya akan sama terlihat pada manusia. Ketidakamanan suatu produk akan menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Pengujian pada manusia akan memastikan efek yang sama seperti pada hasil invitro atau invivo pada hewan coba.

 

Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan subjek manusia disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologikfarmakodinamik lainnya atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkanmempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan efektivitas produk yang diteliti. Menggunakan manusia sehat atau sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan bermanfaat bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat sehingga dapat digunakan banyak pada masyarakat luas dengan lebih yakin tentang kemanjuran (efikasi), efektivitas (effectiveness) dan keamanannya (safety).

 

Berdasarkan tujuan Uji Klinik obat dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu 1) Fase 1 meneliti keamanan serta toleransi pengobatan; 2) Fase II menilai sistem atau dosis pengobatan yang paling efektif; 3) Fase III melakukan evaluasi obat atau cara pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada (pengobatan standar). Fase ini merupakan fase yang banyak dilakukan dalam Uji Klinik; dan 4) Fase IV melakukan evaluasi obat baru yang telah banyak dipakai dimasyarakat dalam jangka waktu yang relatif lama (minimal 5 tahun). Fase ini penting karena kemungkinan diperoleh efek samping obat yang timbul setelah lebih banyak pemakai. Fase ini disebut juga sebagai uji klinik paska pemasaran.

 

 


Post a Comment

0 Comments

Ad Code

Responsive Advertisement